Kamis, 25 November 2021

Jilbab Rumi

 Menjadi orang tua tunggal bukanlah kehidupan yang mudah bagi Bu Mirah. Membanting tulang siang malam untuk memenuhi kebutuhan keluarga kecilnya. Rumi, anak semata wayang Bu Mirah, sama seperti gadis remaja pada umumnya. Gadis yang banyak maunya yang sesekali memberontak saat diperintah. 

“Bu’e cerewet, banyak aturan!” kata Rumi ketus.

Bu Mirah menarik nafas dalam dan tetap fokus mengendalikan gas yang ada di tangan kanannya. 

“Bu’e nggak bisa melarangku untuk bersahabat dengan siapa saja. Orang tua teman-temanku tidak ada yang sekejam Bu’e.” 

Bukan seperti itu maksud Bu Mirah. Dia hanya terlalu khawatir jika Rumi salah bergaul. Itu saja. Rumi selalu saja memprotes peraturan ibunya.

Kerete api lewat.

Bu Mirah membuka kaca helmnya, menengok Rumi yang tampak membuang muka. Ah, Rumi benar-benar sudah berubah. Mungkin Bu Mirah terlalu keras membuat peraturan untuk anaknya. Ini semua dilakukan demi kebaikan anak gadisnya. 

“Maju Huoii!” tiba-tiba tersengar suara teriakan dari belakang. 

Dia tersentak dan kembali memutar pelan gas. Sesampainya di depan gerbang sekolah, Rumi masih melempar muka. Sibuk menekan tombol-tombol handphone.

“Nanti Rumi mau cari buku di belakang Sriwedari, Bu’e. Jadi pulangnya agak sore.”

“Cari buku?” 

Setahu Bu Mirah, buku pelajaran Rumi sudah lengkap bahkan sampai tak muat di rak buku kamar. Hampir setiap bulan Bu Mirah mengajak Rumi ke toko buku. Entah sekedar membaca buku atau membeli komik kesukaannya. Semua buku pelajaran pun sudah dimilikinya termasuk buku pendamping yang dibeli di awal semester kemarin.

“Bu’e selalu seperti itu! Sedikit-sedikit nggak percaya. Sedikit-sedikit ditanya. Aku juga pengin seperti teman-teman. Jalan-jalan. Beli buku sama teman-teman. Nggak kemana-mana sama Bu’e terus!”

Kembali Rumi salah menangkap maksud ibunya. Bu Mirah menarik nafas dalam.

“Nggak sama teman laki-laki kan?”

Sepertinya Bu Mirah salah bertanya. Rumi langsung memonyongkan bibirnya. Membentuk huruf O kapital.

“Bu’e! Aku pergi sama teman laki-laki juga nggak ngapa-ngapain! Aku bisa jaga diri. Bu’e jangan memperlakukanku seperti anak kecil.” suara itu semakin meninggi.

“Maksud Bu’e bukan begitu sayang.” Bu Mirah berusaha meredam kemarahan anaknya. Menata kembali jilbab Rumi yang sedikit bergeser karena tarikan otot-otot di wajahnya.

Tak lama tangan mungil itu langsung melempar tangan Bu Mirah. 

“Aku malu Bu’e!” Rumi berlari masuk ke dalam sekolah.

Ada kekecewaan di wajah Bu Mirah. Gadis kesayangannya kembali membantah. Dia kembali melajukan sepeda motornya ke jalan Slamet Riadi.


.....


Dari tadi Bu Mirah memandangi jam dinding di ruko kecil kawasan PGS. Cemas. Jarum jam sudah menuju angka empat dan Rumi sama sekali belum mengabarinya. Sedari tadi dia tak konsentasi melayani para pengunjung yang datang melihat barang dagangannya. Pembeli minta dicarikan dress batik warna coklat tapi dibawakannya warna biru. Bahkan, beberapa pengunjung mengumpat karena merasa tak dilayani dengan baik. Bu Mirah lebih banyak melamun dan tak mencermati perkataan pembeli.

Rumi mungkin masih ngambek dengan peristiwa tadi pagi. Bu Mirah sudah berusaha menelepon Rumi, tapi tak diangkat. Apa Rumi masih sibuk memilih buku? Ah, nggak mungkin selama itu. Pikirannya  semakin ngelantur kemana-mana. Bu Mirah memutuskan untuk menyusul Rumi ke Sriwedari. Belum sempat menekan tombol starter, panggilan dari Rumi masuk.

“Bu’e .... Bu’e ....” suara Rumi bergetar di seberang sana. 

“Rumi kamu kenapa?” Bu Mirah panik. Ada apa dengan Rumi? Pikirannya kemana-kemana takut terjadi sesuatu dengan anaknya. “Kamu di mana, Nak?”

“Bu’e…, jemput Rumi di belakang taman Sriwedari,” suara itu semakin pelan.

Bu Mirah seketika menutup telepon. Melajukan motor dengan cepat.


....


Di depan deretan penjual buku, ada sekelompok orang berkerumun. Bu Mirah langsung menghentikan motornya tepat di depan kerumunan itu. Menyusup ke dalamnya. Dan benar, ada Rumi yang terlihat kesakitan. Tampak ada luka di tangannya. Bu Mirah merangkul anaknya dan memastikan kalau semuanya baik-baik saja.

Perempuan paruh baya itu sekilas menatap ke seorang pemuda berseragam sama dengan Rumi. Pemuda berkulit sawo matang itu berusaha memegang tangan Rumi. Tangan Bu Mirah dengan sigap menyingkirkan tangan pemuda itu. 

“Bu’e ..., dia. ...” Rumi berusaha menjelaskan namun terhenti. 

Bu Mirah menatap sekilas wajah pemuda itu. Ada luka memar di sana namun Bu Mirah tak peduli. Hanya kelamatan anakknya yang penting.

“Rumi kenapa ndak mendengarkan kata-kata Bu’e? Begini jadinya kalau ndak nurut!” Bu Mirah tanpa kesal. Dirabanya kepala Rumi. Ada yang hilang.

“Mana jibabmu, Nak?”

Rumi merunduk. “Ada di tas, Bu’e” 

Bu Mirah langsung membuka tas Rumi dan mengenakan jilbab ke wajah mungil itu.

“Ayo, pulang!” 

....

Bu Mirah mengunyah nasi goreng yang terasa hambar di lidah. Sesekali meneguk air sambil menatap Rumi yang memainkan sendok sedari tadi. Ada tembok penghalang antara ibu dan anak itu. 

“Tadi beli buku apa saja, Nak?” Bu Mirah berusaha mencairkan suasana.

“Kamus,” jawabnya singkat. 

“Bu’e ...” Rumi tak berani menatap wajah ibunya, ia menyadari kesalahanya sore tadi, “Maafkan aku, Bu’e.” 

Ada sesal mendalam di hati Rumi. Seandainya ia menuruti nasihat ibu pasti kejadian sore tadi tak akan ada.

Bu Mirah memejamkan mata. Mengatur kata-kata agar tak salah melontarkan kalimat.

“Rumi sayang ndak dengan Bu’e?”

“Kenapa Bu’e bertanya seperti itu?”

“Rumi, kenapa kamu pergi sama teman laki-laki?”

Seketika penyesalan Rumi hilang. Rumi tak suka mendengar pertanyaan itu. “Hah?”

“Bu’e kan pernah bilang, kamu boleh berteman dengan siapapun kecuali pada anak laki-laki. Apalagi laki-laki itu, berandalan.”

Mata Rumi terbelalak mendengar kata-kata ibunya barusan, “Bu’e, Aryalah yang membantuku saat segerombolan pemuda nakal menggodaku! Arya bukan anak berandalan seperti yang Bu’e pikir!”

Bu Mirah terdiam.

“Bu’e ndak ingin kamu salah pergaulan. Sekarang lihat, kamu sudah berani melepas jilbabmu! Dia kan yang mengajarimu!” Bu Mirah tak bisa menahan hati untuk menegur anaknya. “Rumi, teman yang baik tak akan membiarkanmu terjerumus seperti itu!”

“Rumi lepas jilbab nggak ada hubungannya sama Arya. Ini pilihan Rumi!”

Tiba-tiba tenggorokan Bu Mirah terasa kering, diteguknya kembali segelas air putih. 

Rumi kembali tertunduk dan lebih lama dari yang tadi. Sampai akhirnya Rumi berkata, “Teman-teman Rumi nggak ada yang mau dekat-dekat dengan Rumi. Ini karena jilbab itu. Cuma Arya yang mau berteman dengan Rumi. Teman-teman Rumi sering mengejek Rumi dengan panggilan Bu Nyai. Rumi malu Bu’e. Malu!” Air mata Rumi tiba-tiba meleleh.

“Tidak hanya itu, mereka juga sering mengejekku anak mami. Kemana-mana selalu sama Bu’e. Aku juga pengin seperti mereka. Pergi bareng sama teman-teman. Bebas bergaul dengan siapa saja. Nggak seperti Bu’e yang membatasi pergaulanku.” 

Bu Mirah ingin sekali menenangkan putrinya namun tak bisa dia lakukan.

“Bu’e selalu menyuruhku untuk tidak membeda-bedakan teman tapi Bu’e sendiri yang membatasi pergaulanku. Aku juga butuh seorang pelindung, Bu’e. Bukan orang yang selalu mengekakangku.” Rumi langsung berlari menuju kamarnya.

Bu Mirah diam seketika. Memikirkan kata-kata yang dilontarkan Rumi.


....


Biasanya Hari Minggu Rumi membereskan kamar seusai sarapan, dan ikut ibunya ke PGS untuk berjualan batik solo. Matahari semakin meninggi namun Rumi belum juga keluar dari kamar. Bu Mirah mengetuk pintu kamar Rumi berkali-kali. Tak ada jawaban. Kamar itu kosong. Tak ada Rumi di sana.

Ada sebuah pesan singkat di atas meja belajar. 


Bu’e, Rumi pergi ke rumah Arya. 

Maaf, Rumi nggak berani izin langsung.


Bu Mirah kecewa membaca isi pesan itu. Kenapa Rumi bisa senekad itu? Keluar rumah tanpa izin. Dia berniat untuk menelepon Arya. Namun diurungkan karena dia baru sadar kalau tak memiliki satu kontak pun teman Rumi, termasuk Arya.

Bu Mirah terduduk di atas kasur. Seketika kepalanya pusing, frustasi. Ia tak ingin anaknya menjadi seorang gadis brutal sama seperti dirinya, dulu. Yang selalu menentang segala peraturan ibunya. Ibu yang sebenarnya sangat menyayanginya.

Tak lama kemudian handphone berdering. Bu Mirah langsung melihat nama pemanggil. Seketika pula bongkahan es di kepalanya meleleh. Rumi.

“Kamu di mana Rumi?”

“Maaf Bu, saya bukan Rumi. Rumi saat ini sedang kesakitan di depan saya. Tadi ada orang yang mengganggunya. Sekarang dia ada di depan Terminal Tirtonadi.”

Deg. Sepertinya dia kenal dengan suara itu. Tak lama kemudian Bu Mirah langsung tersadar dan bergegas menyusul Rumi.

Sepanjang jalan hati Bu Mirah tak tenang, pikirannya melayang, dan hampir saja menabrak sebuah motor yang berbelok dari arah depan. Untung saja dia tersadar saat bunyi klakson meneriakinya. 

Bu Mirah mendekati gadis kecil yang tampak ketakutan. Ia duduk sambil merangkul kedua kakinya. Ada luka kecil di pergelangan tangannya. Hampir sama seperti tempo hari.

“Maafkan Rumi Bu’e. Rumi salah, telah mengecewakan Bu’e lagi. Ini semua terjadi karena Rumi tak mendengarkan perintah Bu’e. Seandainya saja, Rumi mengenakan jilbab itu.” Tangan mungil itu melingkar erat di tubuh Bu Mirah. 

Bu Mirah hanya terdiam mendengarkan suara gadis mungilnya sambil mengamati tubuh Rumi dan memastikan semuanya baik-baik saja.

“Untung tadi ada bapaknya Arya yang menolong Rumi.”

Tangan perempuan paroh baya itu menghapus buliran air mata yang menetes di pipi anaknya. Lalu membelai dengan lembut rambut Rumi.  “Dikenakan dulu jilbabnya, sayang.”

Rumi membuka tasnya dan mengeluarkan sebuah jilbab pink. Jilbab yang senada dengan kaos yang dikenakannya.

Dengan sabar Bu Mirah menata jilbab Rumi, “Nah, gitu cantik pakai jilbab.” 

Tampak semburat senyum di wajah Rumi setelah mendengar kata-kata ibunya.

“Rumi janji Bu’e. Rumi akan nurut sama Bu’e. Ndak akan lepas lagi jilbab ini.”

Bu Mirah kembali memeluk tubuh mungil anaknya sambil mengecup keningnya.


Tak berapa lama laki-laki betubuh jangkung dengan sebuah kaca mata putih tebal yang melekat di mata, muncul dari belakang dengan membawa dua buah jus di tangannya. Langkahnya terhenti. Wajahnya pucat seketika. Begitu pula dengan Bu Mirah, wajahnya membeku seolah tak percaya dengan sosok lelaki yang ada di hadapannya. Itu Mas Rian, ayah kandung Rumi yang menghilang tanpa kabar sejak 14 tahun yang lalu.

“Mas Rian?” Bu Mirah masih tak percaya dengan sosok yang dilihatnya.

“Mirah Pawestri,” ucapnya datar, “Maaf.” wajah itu tertunduk.

“Yah,” sapa seorang pemuda kepada Mas Rian. Pemuda itu adalah teman Rumi yang tempo hari pergi bersamanya membeli buku.

Bu Mirah dan Ayah Arya tak berani menatap muka. Keduanya tertunduk diam.

“Terima kasih, sudah menolong anakku.” ucap Bu Mirah sambil bergegas mengajak Rumi bangkit meninggalkan mereka. 

Ada tanda tanya besar di kepala Rumi. Namun ia tak berani menerka. Sekali ia menoleh ke arah lelaki itu. Semburat mendung bergelayut di wajah lelaki paroh baya itu.




Karya : Bu Yuni'ah



Tidak ada komentar:

Posting Komentar